Pada umumnya suatu daerah, khususnya di
Bali memiliki sejarah tersendiri dan sering nama daerah tersebut dihubungkan
dengan sejarah yang tertulis dalam Babad,
Lontar, Prasasti dan lain sebagainya.
Desa pada mulanya adalah kumpulan kelompok
manusia yang tinggal disuatu tempat, lalu kelompok-kelompok manusia tersebut
membentuk banjar/dusun dan akhirnya banjar/dusun berkumpul membentuk suatu
desa.
Menurut beberapa sumber seperti Sulingih, Pemangku dan tokoh-tokoh
masyarakat Desa Mas belum ditemukan bukti yang pasti tentang terbentuknya Desa
Mas. Diperkirakan perkembangan Desa Mas mulai berkisar antara abad ke-13 dan
ke-14.
Pada jaman Kerajaan Bedahulu sekitar abad
ke-13 yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Sri Aji Astra Sura Bumi Banten dengan gelar Sri Tapolang atau Sri Gajah
Waktra, merupakan seorang raja yang terkenal dengan keangkuhan dan
kezalimannya karena kesaktiannya, serta didukung oleh kehandalan semua menteri
dan para patihnya seperti Pasung Grigis,
Basur dan lain sebagainya. Mendengar Kerajaan Bedahulu di Bali demikian
keadaannya, maka Sri Aji gemet Raja
Majapahit II alias Sri Jaya Negara putra
dari Sri Arsa Wijaya (Prabu Kertha Rajasa Jaya Wardana)
mengutus Gajah Mada untuk menyerang
Bali yang didampingi oleh Panglima perang Arya
Damar dan beberapa arya lainnya.
Dalam pertempuran yang sangat sengit akhirnya Kerajaan Bedahulu kalah.
Tersebutlah diantara sekian banyak para arya yang datang dari Majapahit ada
beberapa yang menetap di Bali, untuk membenahi situasi yang kacau balau dan
porak poranda setelah dikalahkan oleh Majapahit dintaranya adalah 1) Mas Wilis (nama di Bali) alias Tan Kober, 2) Mas Sempur (nama di Bali) alias Tan Kawur, dan 3) Mas Mega (nama
di Bali) alias Tan Mundur. Setelah
sekian lama mereka tinggal di Bali, jatuhlah Kerajaan Majapahit yang disebabkan
oleh situasi dalam negeri dan desakan perkembangan Agama Islam.
Beberapa lama kemudian terdengarlah
seorang Brahmana dari Majapahit datang ke Bali, yang tidak betah lagi
tinggal di Jawa karena masih kuatnya keinginan untuk mempertahankan Agama Hindu
yang terdesak oleh Agama Islam. Beliau tersebut sebagai Pedanda Sakti Bawu Rauh atau dengan nama lain Dang Hyang Nirarta atau Dang
Hyang Dwi Jendra.
Setelah beliau sampai di Bali bersama
rombongannya dengan
aneka ragam pengalaman, maka sampailan beliau di Desa Mas atas undangan Mas Wilis. Selama Pedanda
Sakti Bawu Rauh berada di Desa Mas, beliau banyak memberikan pengetahuan di
bidang agama, sosial, seni budaya dan lain sebagainya kepada Mas Wilis. Setelah Mas Wilis menguasai semua ilmu yang diberikan, maka Pedanda Sakti Bawu Rauh melakukan proses Pedikasaan/Dwijati terhadap Mas Wilis yang diberi gelar Pangeran Manik Mas.
Sebagai bukti untuk menghormati jasa
beliau, Pangeran Manik Mas membuat
Pasraman/Geria dengan segala perlengkapannya untuk Pedanda Sakti Bawu Rauh. Demikian pula Pedanda Sakti Bawu Rauh, untuk memperingati kesungguhan kejadian
ini beliau membuktikan dengan
menancapkan Tongkat Tangi/Pohon Tangi yang masih hidup sampai saat
sekarang yang terletak di Jaba Tengah Pura Taman Pule. Sejak itu beliau memberi
nama desa ini adalah Desa Mas. Disamping itu Pangeran Manik Mas mempersembahkan putrinya yang bernama Ayu Kayuan/Mas Gumitir. Dari hasil perkawinan Pedanda Sakti Bawu Rauh dengan Mas
Gumitir menurunkan Brahmana Mas
yang tinggal di Desa Mas sekarang. Selama beliau bertempat tinggal di Desa Mas,
beliau sering melaksanakan Darmayatra
di Bali, dan banyak pula beliau menulis lontar yang berisikan ajaran sastra,
seni budaya, agama dan lain sebagainya, serta merubah dan menyempurnakan
hal-hal dibidang keagamaan dan bangunan-bangunan keagamaan.